TRANSFORMASI


- : “Abi mo kemana?”
+ : “Mo shalat nak...”
- : “Shalat mannaa.....?”
+ : “Yaa Shalat di Mesjid”
- : “Abang ikuuuttt.....”

Dan sore menjelang Magrib kala itu berakhir dengan rengekan si sulung yang memaksa minta ikut shalat ke Masjid. ‘jatah’nya ikut shalat biasanya tiap shalat Subuh. Biasanya jika di sodorkan handphone, tuh bocah langsung anteng main bareng adiknya. Tapi entahlah, kali ini Ia menolak. Akhirnya dengan berbagai nasehat, aku ajak shalat Magrib. Walaupun nasehat belum efektif untuk anak seusianya, tapi setidaknya upaya untuk menyampaikan pesan mulai dibiasakan.
Bukan tanpa alasan aku tak membawanya untuk shalat ke Mesjid (selain Subuh). Mengingat saat itu, jamaah ramai. Tak hanya dewasa, anak-anakpun turut serta dalam barisan shaf. ‘akan ada waktunya’, begitulah alasanku. Dan.... Magrib petang itu sukses membuatku tak khusyuk shalat. :(
Tingkahnya yang selalu bergerak, berlari ke belakang, suaranya yang terkadang melingking nyaring, membuat aku sukses dibuatnya gemes. Beruntung Ia tak berlari mengelilingi shaf, seperti yang dilakukannya saat pertama kali diajak shalat ke Mesjid 1 tahun yang lalu tepat saat berusia 2 tahun. Ini pun berlangsung hingga kini. Duh Gusti.... Ternyata justru aku yang banyak belajar. Sabar emang ringan di lidah, tapi berat di perbuatan.
Alhamdulillah, secara perlahan ada perubahan dalam dirinya. Di usianya yang kini 3 tahun 4 bulan, Ia telah memahami waktu shalat. Saat mulai terdengar azan, akan sibuk mencari Abinya, mengganti baju dan bersiap untuk ikut ke Mesjid. Saat shalat juga mulai berkurang kadar keaktifannya. Hanya saat berdiri tegak sebelum rukuklah ia berpindah ke kiri dan kanan. Selebihnya mengikuti gerakan shalat hingga selesai.
Perubahan itu suatu keniscayaan. Saat kita tak siap menghadapi, maka bersiaplah untuk berada dalam pusaran ketidakpastian. Yang pada akhirnya cenderung menyalahkan keadaan. Mungkin bagi sebagian orang berpendapat, terlalu dini membawa anak shalat di Masjid. Hanya akan menimbulkan keributan semata. Tapi justru disitulah letak keberhasilan membentuk karakter anak, yang sangat efektif jika dibiasakan pada hal-hal positif sedini mungkin. Ada nasehat yang sering kita dengar, “Hanya butuh beberapa hari untuk membuat seorang anak pandai matematika, tapi butuh waktu bertahun-tahun membiasakan anak antri”.
Ini menggambarkan betapa pola membentuk karakter membutuhkan waktu yang tak sebentar. Lama dan mesti dilakukan berulang-ulang. Ini yang kita lihat pada masyarakat Jepang dan banyak negara di Eropa (Norwegia contohnya). Melihat barisan panjang yang mengantri untuk membayar di kasir sudah menjadi pemandangan yang biasa. Bahkan mereka masih juga menyempatkan diri untuk membaca, mempersilahkan orang yang lebih tua atau yang sedang terburu-buru karena suatu urusan untuk lebih dulu membayar. Jangan harap pemandangan ini kita jumpai di negeri tercinta ini. Itu menjadi sesuatu yang amazing. Tapi bukan berarti tak ada..... ^^
Ada, tapi butuh kejelian ekstra untuk mendapatkannya. Tapi, masih ada asa untuk mampu merubahnya. Dan... itu semua bermula dari pribadi kita masing-masing. Kemudian kita tularkan dalam keluarga-keluarga kecil kita. Hingga kelak mampu merubah tatanan kebiasaan masyarakat kita. Pemandangan membuang sampah sembarangan dari kaca jendela mobil, bukan mustahil takkan lagi kita jumpai.
Jadi ingat rumus 3M ala Aa’Gym ; “Mulai dari diri sendiri – Mulai dari hal yang kecil – Mulai saat ini”. Apapun yang ingin kita rubah, maka mulailah dari diri kita. Jika ingin melihat anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang sholeh, maka orang tua harus mensholehkan dirinya terlebih dahulu. Rumus ini takkan berubah sampai kapanpun.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Wah Norwegia disebut hihi....keren om tulisannya. Mengingatkan saya untuk tak bosan2 menjadi contoh yg baik bagi anak2ku^^

    BalasHapus
  2. Jadi bahan Afirmasi mb Dini, suatu saat silaturrahim ke Norwey ^____^

    BalasHapus