Celah Hati.....


Pria yang tak muda lagi itu duduk berselonjor di pojok rumah. Tangan keriput yang masih mengguratkan otot itu perlahan mulai menggerakkan jarinya di senar gitar yang juga mulai terlihat kusam. Jreengg..... Jreengg.....

“Suatu hari....
Dikala duduk di tepi pantai
Dan memandang ombak di lautan yang mulai menepi
.....”


Keasikannya berdendang tak terganggu dengan kedatangan remaja tanggung yang langsung nyerocos begitu duduk disamping.

“Wuiihh.....Pande juga Bapak main gitar. Aku aja belajar gak bisa-bisa.”

Bukannya menjawab, Sosok tua itu justru berkata, “Kue ngerti orah, kepiye carane simbokmu iku tresno karo Bapakmu iki?”

Melihat gelengan kepala si remaja tanggung yang kini tampak memasang mimik serius, si Bapak menghentikan permainan gitar dan menggantinya dengan sebuah cerita.

Bagi remaja tanggung, cerita itu ibarat permata yang menyembul dibalik tebalnya lapisan tanah yang menimbunnya. Sepenggal kisah romantis si Bapak dengan istrinya.

“Bapak dulu sering duduk-duduk di depan rumah Ibu. Kamu tahu, Ibumu iku ora open tenan sama Bapak. Kalo dipanggil gak pernah nyahut. Jadi Bapak sering main gitar. Ehh... ndalalah Ibu kok lama-lama kepincut.”



****
Cerita ini senantiasa diulang tiap kali saya minta Bapak bercerita. Dulu... Setiap pulang kampung selalu menyempatkan meminta Bapak bercerita kembali awal mula beliau menjalin kasih dengan Ibu. Agar berimbang, saya juga meminta cerita yang sama dari Ibu.
Ternyata Ibu juga sudah kesengsem dengan Bapak sejak lama. Bapak yang kala itu salah satu personel pemain ludruk, telah lama dikenal dan dielu-elukan banyak orang. Di masa itu, ludruk itu hiburan yang sangat digemari. Khususnya orang Jawa seperti kami. Saat ditanya peran apa yang sering dimainkan Bapak, Ibu menjawab Buto Ijo. Ealaah....!!

Kawan.... mungkin kamu menilai apa yang sering saya lakukan dengan meminta kedua orang tua saya bercerita ihwal kedekatan mereka adalah hal yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Tetapi ada banyak hal yang saya dapatkan dari cerita yang terkesan remeh itu.

Tidak mudah bagi seorang laki-laki [apalagi telah menikah dan memiliki anak remaja] bercerita kepada orang lain tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Biasanya mereka menyembunyikan sisi romantisnya dibalik kemaskulinannya.

Selalu berusaha tampil sebagai sosok yang kuat, tegas, tegar dan berwibawa. Dari mulai kecil hingga dewasa, tidak pernah saya melihat Bapak menangis di depan saya. Selalu bersikap cool dan tak banyak bicara.

Hingga di suatu siang tepat ketika berkumandang azan Zuhur, sosok yang ketika itu mulai beranjak sepuh terlihat terguncang dan menangis terisak-isak. Melihat Ibu [sang belahan jiwa] yang telah berpuluh tahun menemaninya menghembuskan napas terakhirnya.

Tak mudah memang, melepas sosok pendamping hidup kembali ke pangkuan Rabb-Nya. Rasa cinta yang menggumpal lama, seakan mengekalkan ‘rasa’ yang terpatri dalam hati.

Pernah suatu ketika saya dan istri ngobrol berdua. Hingga obrolan sampai pada ‘pengandaian’ jika salah satu dari kami meninggal, apa yang akan dilakukan. Spontan saya berkata, “Kalaulah boleh memilih, Mas pengen lebih dulu dipanggil. Soalnya Mas belum sanggup untuk kehilanganmu.”

Begitulah, pria itu sebenarnya rapuh. Ia butuh sosok lain untuk menguatkannya. Dan.... perempuan adalah jawaban dari Sang Maha Pencipta. Bukankah tulang tercipta untuk menguatkan tubuh?

Ibu.....

Ahh... begitu banyak kata yang digoreskan untuk menuliskannya. Begitu banyak kanvas yang disapukan untuk menggambarkannya.

Kebiasaannya yang sering nembang di sela-sela aktivitasnya, ternyata menggambarkan sosoknya yang ceria dan enerjik. Tak heran, petikan gitar Bapak sukses meluluhkan hatinya hingga mau menerimanya menjadi suami. ^^

Begitulah wanita, sangat menyukai hal-hal yang terkesan remeh. Pujian akan sukses membuat mereka klepek-klepek. Sebenarnya tak sulit untuk membuat mereka senantiasa bahagia. Bagi para suami, cobalah luangkan waktu di sela-sela pekerjaanmu untuk menyapa mereka. Sebaris kata-kata romantis yang dikirim melalui massenger akan membuat mereka berbunga-bunga.

Tak percaya? Coba aja!!

Atau ketika sedang we time, pijat sejenak tubuhnya yang lembut itu. Karena sentuhan bagi mereka ibarat tetesan air yang jatuh menghujam bumi. Tak basah tetapi menyejukkan.

Setiap kita memiliki ‘titik’ kebahagiaan yang berbeda. sebagaimana titik, ia tak membutuhkan hentakan untuk membentuknya. Cukup sentuhan lembut untuk membuat satu titik.

Titik itu akan semakin penuh makna, manakala ada puluhan, ratusan, hingga jutaan titik yang dibuat. Dan... kebermaknaan itu kian sempurna ketika titik-titik itu terhubung dengan garis.

Mari, kita buat titik-titik kebahagian hingga darinya terbuat pola yang indah. Ketika pola telah terbentuk, maka akan semakin mudah untuk kita warnai dengan aneka warna.


Sahabatmu,

Rahmad Al-Abror

Posting Komentar

0 Komentar