DIAKHIR WAKTU *


Bip...bip...bip...bip...
Nokia N-Gage QD yang selalu menyertai aktifitasku berdering lembut, membuyarkan konsentrasiku terhadap tumpukan berkas yang harus selesai diketik. Kulihat layar melihat nomor yang menghubingiku di pagi nan sibuk ini, Bang Rudi. Aktifis kampus yang menculikku (dengan izin ortu ^^)  dari kampung halaman untuk di bawa ke Kota Medan.
“Biar lebih mandiri dan lebih berkembang lagi sampean” , begitu alasannya.
“Tumben nih pagi-pagi dah nelpon” batinku dalam hati.
Assalamu’alaikum Bang” sapaku pelan.
“Wa’alaikum salam. Antum sekarang juga harus pulang ke kampung. Kondisi Ibu antum udah kritis !!” Jawab Bang Rudi tanpa basa-basi.
Deg !!!
Jantungku langsung berdegup kencang. Langsung terbayang wajah pias Ibu yang belakangan memang terganggu kesehatannya.
Yahh.... sudah hampir 3 tahun Ibu bergelut dengan diabetesnya. Tapi selama itu, kondisi Ibu tetap ceria dan masih bisa beraktifitas tanpa halangan. Masih kuingat percakapan kami minggu lalu via handphone.
....
“Sehat koe dek neng Medan ??” Tanya Ibu kala itu.
Alhamdulillah, aku sehat-sehat aja Bu. Ibu gimana, sehat juga kan ??”
“Yaaa....kayak biasanya laaa. Nih kumat lagi gulanya. Jadi agak repot kalo jalan.”
“Yo wes, Ibu istirahat aja dulu. Kalo ga ada halangan Insya Allah 2 minggu lagi aku pulang” Kataku mencoba menghibur Ibu.
“Ibu ora popo iki. Ni aja baru pulang dari pengajian. Yos wes, ibu sek beres-beres omah yo. Assalamu’alaikum”
Tut...tut....tut....
Dan kini, datang kabar bahwa aku harus segera pulang. Pikiranku langsung melayang ke negeri antah barantah, mencoba mengira-ngira apa gerangan terjadi. Sekelebat muncul bayangan keranda.
Astagfirullah......
Mendadak wajahku pias menahan takut. Buru-buru kubereskan meja kerja dan segera menghadap atasan. Alhamdulillah, beliau mengizinkan aku pulang lebih cepat sekaligus mengabulkan izin cuti beberapa hari setelah ku kemukakan alasannya.

Dengan persiapan ala kadarnya, bahkan tak sempat memberitahukan teman satu kost aku memacu motor dengan cepat. Ingin segera sampai ke rumah. Mungkin kalau jurus Hiraishin  no jutsu milik Hokage keempat dalam serial Naruto aku miliki, maka perjalanan yang memakan waktu lebih dari 3 jam akan teratasi dengan mudah .....

“Hoiiiii.... pake mata kalo naek motor !!”
Satu suara mengagetkan aku. Ya Allah, tanpa aku sadari lampu lalu lintas yang berada di persimpangan jalan di kawasan Deli Serdang aku terobos. Aku hanya nyengir saat beberapa pengendara lain turut meneriaki goblok.
Sejenak kuhentikan laju motor dan menepi di pinggir jalan. Mencoba menenangkan diri.
Ughh.....
Diri ini begitu tak fokus berkendara. Beberapa saat lalu saja, motor sampai keluar jalur menerobos ilalang di pinggir jalan. Bayangan wajah Ibu menari-nari di kolam ingatanku.
....
Kembali jantung ini berdegup kencang saat motor mulai memasuki halaman rumah. Terlihat banyak kerumunan tetangga di belakang rumah.
“Ibu ada di kamarnya dek, jumpai sana gih. Dari ba’da Subuh manggilin kamu mulu! ” perintah kakak sulungku sesaat setelah aku memasuki rumah.
Trenyuh diri ini melihat kondisi Ibu. Tubuh itu tampak renta, bersandar di pinggir ranjang dengan tatapan kosong.
“Ibu....ini adek pulang” Tak kuasa air mata ini langsung berurai.
“Hoo..ooo...sopo...sopo......!!” jawab Ibu tanpa ekspresi.
Ya Allah, ternyata Ibu sudah dalam kondisi tak lagi mengenali orang-orang disekitarnya. Bayangan keranda itu kembali melintas. Mata ini pun kembali berlinang, merasakan kelunya lidah yang tak mampu berucap.
“ ‘Amma ya tasaa aluun
‘Aninnabail ‘adziim.....”
Kubisikkan dengan suara tersendat Surah An-Naba’ di telinga Ibu. Surah terpanjang pertama yang mampu kuhapal. Azzam yang pernah terpatri, suatu saat muraja’ah dihadapan Ibu kutunaikan. Walau dalam kondisi Ibu tak lagi mengenali anaknya.
Dengan menahan tangis aku selesaikan hingga akhir ayat. Melihat raut wajah ibu yang lebih tenang dari sebelumnya, dengan lelehan air mata dan genggaman erat tangannya di tanganku, membuatku tak sanggup menahan tangis yang sedari tadi tertahan.
Aku meninggalkan Ibu ketika ia kembali terlelap dalam tidurnya.
Hingga malam, Ibu tak lagi membuka kelopak mata. Hanya desahan napasnya yang terdengar.
Dan malam itu pun suasana berubah senyap. Masing-masing kami anaknya, mengelilingi tubuh Ibu yang terbaring di tengah ruang keluarga sibuk dengan tilawahnya masing-masing.

“Ibu ga bisa dibilangin Ram....
Uda disuruh istirahat, ga mau juga. Kamu tau la, gimana Ibu. Orangnya ga mau diem. Kemarin aja bersikeras pergi ke pengajian pekanannya. Di rumah pun asik dengan bacaan dan tulisan dari buku catatannya”. Cerita Abang dan Kakak tadi sore.
Subhanallah.....
Walau pendidikanmu hanya sampai Sekolah Rakyat, tapi kebiasaan membaca dan menulismu menjadi nilai lebih dimata kami.

Dan.....
Tepat sesaat setelah azan Zuhur, engkau kembali menghadap-Nya. Tak kuasa tubuh ini tergoncang menahan isak tangis. Bapak yang selama ini tampil sebagai sosok penuh wibawa, terisak-isak dalam tangisnya. Melepas orang yang selama puluhan tahun mendampinginya. Hujan lebat di kala sore mengantarkan langkah-langkah kami membawa jazad Ibu ke peristirahatannya yang terakhir. Hujan juga membawa kembali kenangan bersama Ibu.

.............
“Sekecil apapun yang kamu miliki, berbanggalah. Selama itu adalah hasil jerih payahmu yang halal” Petuah sederhana Ibu saat melepas kepergiannya ke kota medan untuk waktu yang lama masih terngiang di telinga.
“Medan kan ga jauh lo Bu. Aku masih bisa pulang kalo libur kuliah dan libur kerja. Ibu ga usah nangis sesenggukan gitu” Kataku menjawab petuah Ibu.
“Maklum nak, kamu ragel. Ga pernah pisah jauh dari Ibu”

Kupeluk bantal terakhir yang digunakan Ibu, mencoba kembali mengais kehangatan yang tersisa


*Mengenang 6 tahun meninggalnya Ibu 

Posting Komentar

0 Komentar