Menjaga Lisan


Pada suatu ketika, ada seorang ayah yang memiliki anak laki-laki yang temperamental. Mudah marah serta mudah melontarkan kata-kata yang merendahkan saat marah. Hingga suatu hari si ayah mendapat laporan dari jiran tetangganya tentang sikap dan tingkah laku anaknya. 

Mendengar laporan tersebut, si ayah segera memanggil anaknya. Terjadilah dialog diantara keduanya.
"Anakku, aku mendegar bahkan melihat sendiri engkau begitu mudah terbawa emosi, bahkan setiap kata-katamu sungguh menyakitkan hati saat engkau marah" Kata si ayah mulai menasehati anaknya. 
"Aku tak bisa mengontrol diri ayah, saat aku emosi dan marah" kata si anak berusaha membela diri. Dengan tersenyum penuh misteri, si ayah kemudian memberi anaknya sekantung paku dan sebuah martil. 
"Anakku, mulai saat ini tiap kali engkau marah, tancapkan paku ini di tembok samping rumah"
Walau dipenuhi kebingungan, si anak tetap menerima dan melaksanakan perintah ayahnya. Mulailah si anak setiap kali marah ia menancapkan paku tersebut di tembok samping rumahnya. Hingga satu bulan berlalu, paku dalam kantong akhirnya habis. Si anak segera melapor pada ayahnya, "Yah, paku yang ayah berikan telah aku tancapkan semuanya di tembok"

Kembali dengan senyum misterius si Ayah berkata, "Nak, mulai hari ini tiap kali engkau marah, cabut kembali paku tersebut dengan menggunakan ini." Kata si Ayah seraya memberikan linggis. Tanpa banyak bertanya, si anak pun melakukan apa yang diperintahkan ayahnya. 

Waktu pun terus berlalu hingga paku yang tertancap di tembok telah tercabut seluruhnya. Si anak pun melapor, "Yah, semua paku telah aku cabut kembali dari tembok"
Tanpa menjawab, si Ayah mengajak anaknya untuk melihat kondisi tembok disamping rumah.
"Nak, bagaimana keadaan tembok ini sekarang"
si anak menjawab, "Jelek sekaranga Yah, banyak lubang dan tergores"

Dengan tersenyum hangat si Ayah berkata, " Ketahuilah nak, seperti tembok itulah keadaan hati orang-orang yang telah engkau sakiti hatinya dengan perkataanmu. Hinaan, makian serta ejekan yang terlontar dari mulutmu tiap kali engkau marah, sampai kapanpun akan tetap berbekas dalam hati. Walaupun ribuan maaf bahkan berkarung-karung emas engkau berikan pada orang yang telah engkau sakiti hatinya, tetap tidak akan bisa menghilangkannya."

Dengan tertunduk malu, si anak hanya terdiam mendengarkan nasehat Ayahnya. Ia menyadari begitu dahsyatnya akibat dari perkataan lidah. Ia pun berjanji mulai saat ini, akan merubah sikapnya yang mudah mengumbar kata-kata yang merendahkan dan berupaya meredam emosinya.

Ternyata lidah yang secara fisik terlihat paling lemah diantara organ tubuh lainnya, mampu meninggalkan luka yang tidak mudah untuk dilupakan. Berbeda dengan luka akibat tergores pisau, yang dalam tempo waktu tertentu akan sembuh. Bahkan kita akan lupa bagaimana rasa sakit akibat goresan tersebut. Sakit hati yang diakibatkan oleh perkataan yang merendahkan, tak semudah menyembuhkan luka fisik akibat goresan pisau. 

Alangkah indahnya jika setiap pribadi mampu menjaga lisannya. 

Posting Komentar

0 Komentar